Oleh: Hesti Wulandari Sitanggang
Ada seorang anak kecil yang sebatang kara hidup di jalanan melihat miris ke dalam sebuah restoran. Bukan pajangan makanan di etalase yang dilihatnya, tetapi seorang anak kecil seumuran dia yang sedang bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Dalam benak ia berpikir alangkah bahagianya jika masih memiliki orang tua. Apakah ini yang namanya keluarga? ada Ayah, Ibu dan anak? Ia tidak memiliki konsep itu dalam hidupnya. Baginya, keluarga adalah teman-teman yang hidup bersamanya di jalanan. Saling berbagi dan saling menghibur, tidak perlu hubungan sedarah. Jika suatu saat ia meninggal di jalanan, mereka pasti akan mengenangnya.
Pada tempat dan waktu yang berbeda, seorang gadis remaja termenung seorang diri di kamarnya yang berAC dan bernuansa pink. Ia merasa kesepian di rumahnya sendiri. Untung ada sang Ibu yang setia menemani. Sang Ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan membuat hubungan mereka tidak seakrab dulu lagi. Begitu juga hubungannya dengan kedua kakak laki-lakinya. Kakak tertuanya tidak pernah mengayomi ia selayaknya seorang adik. Sifat yang egois membuat sang kakak tidak pernah mempedulikan urusan keluarga. Tidak jauh berbeda, kakak keduanya pun sibuk dengan teman-temannya yang brandalan.
Secara fisik keluarga mereka masih utuh tetapi tidak ada spirit yang membuatnya merasa memiliki sebuah keluarga. Pada titik ini ia berpikir apa makna sebuah keluarga? Baginya yang terpenting sebuah keluarga harus ada saling memiliki. Ada komunikasi intensif dan pastinya harus ada koneksi jiwa antara satu dengan yang lain.
Kedua kisah di atas mungkin sudah banyak divisualkan menjadi film atau sinetron dan mungkin pernah kita alami atau kita saksikan di lingkungan sekitar. Bagi saya, mungkin kita semua sepakat, keluarga tidak hanya sebuah nama atau definisi sekelompok orang yang sedarah dan tinggal bersama dalam sebuah rumah. Keluarga merupakan pranata terkecil yang menopang eksistensi masyarakat, bahkan negara. Idealnya seperti itu tetapi saya ingin melihatnya secara sederhana.
Keluarga seharusnya memiliki nilai bagi setiap anggotanya. Nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna akan arti sebuah keluarga. Nilai kenyamanan atau aman seharusnya dirasakan oleh seorang anak karena kasih sayang yang diberikan oleh orang tuanya. Orang tua pun seharusnya merasa dihargai atau dihormati oleh anak yang telah dibesarkan. Juga nilai-nilai lain yang bersifat resiprok atau timbal balik antar anggota keluarga. Setiap anggota keluarga seharusnya saling memberi dan menerima. Seorang anggota keluarga seharusnya memberikan makna akan eksistensinya bagi anggota keluarga yang lain. Jadi keluarga bukan sebuah entitas hampa yang tidak memiliki nilai sama sekali. Hal ini yang seharusnya di tanamkan sejak dini ketika sebuah keluarga terbentuk.
Makna keluarga yang saya persepsikan ini mungkin sangat subjektif, tapi sungguh menyenangkan jika sebuah keluarga terbentuk dan berkembang seirama nilai-nilai yang memberikan makna bagi setiap anggotanya. Itulah intinya. Makna ini bisa menembus ruang dan waktu. Maka lumrah jika anak kecil yang sebatang kara hidup di jalanan itu tetap merasa memiliki keluarga karena ada nilai yang diperoleh dari teman-temannya. Dengan demikian maka niscaya tidak ada lagi yang merasa kesepian di rumahnya sendiri.